Sinopsis Novel Sitti Nurbaya karya Marah Roesli
Sastra tidak tercipta
dengan sendirinya, sastra hadir bersamaan dengan orang-orang hebat yang berada
di dalamnya. Sastra begitu banyak memiliki keindahan yang membuat seseorang
begitu antusias untuk menikmatinya. Dan untuk dapat menikmati sebuah karya
sastra dengan baik, maka sangat diperlukan segerombolan pemahaman mengenai sebuah
karya sastra. Menikmati sebuah karya sastra tak hanya dengan membaca, namun
juga memahami dengan setiap kalimat yang sedang dibaca.
Penggunaan bahasa dalam sebuah karya sastra sangat
penting peranannya, bahasa adalah suatu hal yang digunakan sebagai alat
komunikasi lisan atau alat dalam mengungkapkan sesuatu ke dalam bentuk tulisan.
Bentuk tulisan tersebut ialah seperti cerpen, novel, atau cerita fiksi lainnya.
Selain membicarakan hal-hal yang berhubungan dengan frase, klausa dan kalimat,
semantik juga membicarakan hal mengenai bentuk kalimat polisemi, ambiguitas dan
redundansi. Kalimat-kalimat ini sangat menarik untuk dibicarakan karena dalam
menggunakan bentuk kalimat-kalimat ini, sedikit banyak sering membuat pembaca
kurang memahami dengan kalimat yang ada di dalam karya tulis tersebut.
Permasalahan dalam penggunaan bahasa
sangat banyak namun pada penelitian kali ini kita akan membahas mengenai
penelitian pada kajian kalimat (analisis kalimat) polisemi, ambiguitas dan
redundansi. Kalimat-kalimat tersebut sering ditemukan pada sebuah karya sastra.
Salah satu contoh bentuk karya sastra ialah novel. Novel adalah sebuah karangan
yang menceritakan sebuah cerita di dunia nyata, lengkap dengan peristiwa yang
ada di dalamnya.
Berdasarkan uraian di atas, maka
penelitian yang akan dilakukan adalah dengan menganalisis kalimat polisemi,
ambiguitas dan redundansi. Sumber kajian yang akan digunakan adalah novel.
Dalam penelitian ini, novel yang akan digunakan berjudul Sitti Nurbaya, Kasih
Tak Sampai karya Marah Roesli yang diterbitkan pertama kali oleh balai pustaka
pada tahun 1922. Marah Roesli ialah seorang sastrawan hebat yang lahir di kota
Padang pada 7 Agustus 1889, Putra dari Sutan Abu Bakar seorang demang bergelar
Sutan Pangeran, dan dengan seorang wanita biasa dianggap sebagai pengarang roman
yang paling mula dalam sejarah Indonesia. Ia dianggap sebagai pembaharu dalam
penulisan prosa yang ketika itu lebih banyak berbentuk hikayat.
Pada tahun 1911, ketika Marah Roesli berusia 21 tahun ia
menikahi gadis Sunda kelahiran Bogor. Setelah lulus sekolah dokter hewan di
Bogor, ia diangkat menjadi ajunct
dokter hewan di Sumbawa Besar. Selama ia sedang bertugas di sana, Marah Roesli
menulis sebuah novel yang berjudul La Hami sebagai tanda rasa terima kasihnya
kepada penduduk Sumbawa yang telah banyak membantu dirinya selama berada di
pulau itu. Novel La Hami yang ditulisnya mengisahkan kehidupan masyarakat di
Sumbawa.
Marah Roesli menjadi dosen Sekolah Dokter Hewan di Klaten
pada tahun 1948, dan dipensiun sebagai Kepala Dokter Hewan pada tahun 1952.
Marah Roesli sejak kecil memang gemar sekali menjadi tukang cerita dan membaca
buku roman dari barat. Berkat kegemarannya inilah yang membuat ia menjadi
seorang sastrawan hebat dan ternama meski ia seorang dokter hewan, namun rasa
keperduliannya pada masyarakat sangatlah besar.
Marah Roesli meletekkan landasan pemikiran yang mengarah
pada emansipasi wanita dan mendobrak adat tanah kelahirannya yang tidak sesuai
lagi dengan semangat zaman. Marah Roesli tutup usia pada tanggal 17 januari
1968 di Bandung, ia meninggalkan berbagai karya sebagai warisan budaya yang tak
ternilai harganya, seperti Sitti Nurbaya.
Novel Sitti Nurbaya
yang ditulisnya berdasarkan pengalaman-pengalaman di sekitar adat dan
tradisi kampung halamannya. Nama Sitti Nurbaya begitu terkenal dalam kalangan
sastra Indonesia. Ia menjadi simbol sebuah zaman yang dikenal orang sebagai
simbol perjodohan atau kawin paksa. Di mana wanita tidak dapat menentukan calon
suaminya sendiri. Sampai saat ini, orang-orang mempercayai bahwa Sitti Nurbaya
menjelma menjadi mitos dan kuburannya sering diziarahi yang terletak di Gunung
Padang.
Bentuk kalimat polisemi, ambiguitas dan redundansi yang
terdapat pada novel ini begitu banyak ditemui. Sebagai kalimat yang dapat
membuat pembaca memiliki banyak imajinasi tak jelas, diharapkan dengan
penelitian ini kita dapat belajar bersama. Selain menyelami cerita yang
dikisahkan dalam novel tersebut, kita juga dapat belajar lebih luas lagi
mengenai bentuk kalimat polisemi, ambiguitas dan redundansi.
Novel Sitti Nurbaya karya Marah Roesli menceritakan kisah
hidup seorang agdis cantik pada zaman dahulu mengalami paksaan pernikahan yang
tak seharusnya ia hadapi. Selama ini musibah yang dialami oleh Sitti Nurbaya
dianggap orang sebagai akibat pernikahan paksa, padahal pernikahannya dengan
Datuk Meringgih bukan akibat paksaan orang tua, melainkan atas keinginannya
sendiri. Sitti Nurbaya rela menikah dnegan Datuk Meringgih asal ayahnya tak di
penjara oleh Datuk Meringgih karena tak mampu membayar hutang. Ia rela melepas
cintanya dengan Samsulbahri kekasih yang sangat dicintainya selama ini. Bisa
dibilang segala yang dilakukan Sitti Nurbaya adalah sebuah pengorbanan tulus
dari seorang anak untuk orang tuanya.
Novel ini banyak terdapat menggunakan
bentuk kalimat polisemi, misalnya: “... tidak mau putri tunggalnya menjadi
korban lelaki hidung belang....” kalimat
hidung belang yang dimaksud ialah seseorang yang tidak baik perilakunya, bentuk
kalimat ambiguitas “... bukan paksaan orang
tua, melainkan atas keinginannya sendiri.” Kalimat orang tua di sini
menimbulkan ketidakjelasan, Bapak atau Ibukah yang di maksud. Dan bentuk kalimat
redundansi “Alangkah elok parasnya anak
perawan ini..” terdapat kalimat yang berlebih-lebihan pemakaiannya. Kalimat
alangkah elok parasnya anak perawan ini
sama dengan anak perawan itu berparas
elok.
Secara tematik, cerita dalam novel
ini tidak hanya sekedar menampilkan latar sosial yang jelas tetapi juga
menampilkan kritik terhadap adat istiadat yang tegas. Novel ini memiliki
konflik yang sangat rumit dan luas. Jika ditinjau dari unsur instrinsiknya, tentu
sangat sulit ditemukan keunggulan dari Sitti Nurbaya. Selain menggunakan bahasa
yang masih dekat dengan karya sastra lama, novel ini juga juga menggunakakan
alur konvensional.
Komentar
Posting Komentar