Polisemi, Ambiguitas dan Redundansi
Hakikat
Polisemi, Ambiguitas dan Redundansi
Kata bahasa dalam bahasa Indonesia memiliki
lebih dari satu makna atau pengertian, sehingga seringkali membingungkan. Sifat
atau ciri dari bahasa itu sendiri antara lain, bahasa itu adalah sebuah sistem,
bahasa itu berwujud lambang, bahasa itu berupa bunyi, bahasa itu bersifat
arbitrer, bahasa itu bermakna, bahasa itu bersifat konvensional, bahasa itu
bersifat unik, bahasa itu bersifat universal, bahasa itu bersifat produktif,
bahasa itu bervariasi, bahasa itu bersifat dinamis, bahasa itu berfungsi
sebagai alat interaksi sosial, dan bahasa itu merupakan identitas penuturnya. Sebagai
alat komunikasi verbal, bahasa merupakan suatu sistem lambang bunyi yang
bersifat arbitrer. Maksudnya, tidak ada hubungan wajib antara lambang sebagai
hal yang menandai yang berwujud kata atau leksem dengan benda atau konsep yang
ditandai, yaitu referen dari kata atau
leksem tersebut.
Menurut
Hockett, seorang tokoh strukturalis, bahasa adalah suatu sistem yang kompleks
dari kebiasaan-kebiasaan. Sistem bahasa ini terdiri dari lima subsistem, yaitu
subsistem gramatika, subsistem fonologi, subsistem morfofonemik, subsistem
semantik, dan subsistem fonetik. Kedudukan kelima subsistem itu tidak sama
derajatnya. Subsistem gramatika, fonologi, dan morfofonemik bersifat sentral.
Sedangkan subsistem semantik dan fonetik bersifat periferal. Subsistem semantik
bersifat periferal karena, makna yang menjadi objek semantik sangat tidak
jelas, tidak dapat diamati secara empiris, sebagaimana subsistem gramatika
(morfologi dan sintaksis).
Namun, sejak tahun enam puluhan studi
mengenai makna ini menjadi kegiatan yang tidak dapat dipisahkan dari studi
linguistik lainnya. Itu dikarenakan orang mulai menyadari bahwa kegiatan
berbahasa sesungguhnya adalah kegiatan mengekspresikan lambang-lambang bahasa
tersebut untuk menyampaikan makna-makna yang ada pada lambang tersebut, kepada
lawan bicaranya (dalam komunikasi tulis). Jadi, pengetahuan akan adanya
hubungan antara lambang atau satuan bahasa, dengan maknanya sangat diperlukan
dalam berkomunikasi dengan bahasa itu. Kata semantik dalam bahasa Indonesia,
berasal dari bahasa Yunani, yaitu sema (kata benda), yang berarti “tanda” atau
“lambang”. Kata kerjanya adalah semaino yang berarti “menandai” atau
“melambangkan”.
Tanda atau lambang menurut Ferdinand de
Saussure, terdiri dari komponen yang mengartikan, yang berwujud bentuk-bentuk
bunyi bahasa dan komponen yang diartikan atau makna dari komponen yang pertama
itu. Kedua komponen ini adalah merupakan tanda atau lambang, sedangkan yang
ditandai atau dlambanginya adalah sesuatu yang berada di luar bahasa yang lazim
disebut referen atau hal yang ditunjuk. Kata semantik ini kemudian disepakati
sebagai istilah yang digunakan untuk bidang linguistik yang mempelajari
hubungan antara tanda-tanda linguistik dengan hal-hal yang ditandainya. Oleh
karena itu, kata semantik dapat diartikan sebagai ilmu tentang makna atau
tentang arti, yaitu salah satu dari tiga tataran analisis bahasa, fonologi,
gramatika, dan semantik.
Dalam
analisis semantik harus juga disadari, karena bahasa itu bersifat unik, dan
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan budaya masyarakat pemakainya, maka
analisis suatu bahasa hanya berlaku untuk bahasa itu saja, tidak dapat
digunakan menganalisis bahasa lain. Dalam setiap bahasa, termasuk bahasa
Indonesia, seringkali kita temui adanya hubungan kemaknaan atau relasi semantik
antara sebuah kata atau satuan bahasa lainnya dengan kata atau satuan bahasa
lainnya lagi. Satuan bahasa disini dapat berupa kata, frase, maupun kalimat.
Hubungan atau relasi kemaknaan ini mungkin menyangkut hal, kegandaan makna
(polisemi dan ambiguitas) dan kelebihan makna (redudansi).
Dalam berbahasa indonesia atau dalam menulis
sebuah karya sastra seperti novel, cerpen, puisi dan karangan lainnya secara
tidak sadar kita akan menemukan kalimat polisemi, ambiguitas dan redundansi.
Kalimat-kalimat ini sering muncul dalam suatu karangan meski terkadang kita tak
menyadari. Tak sedikit orang yang bahkan tak perduli akan kalimat-kalimat ini.
Terkadang mereka hanya membaca tanpa mengetahui makna dari kalimat tersebut.
Pengertian
Polisemi
Kata Polisemi adalah suatu kata yang memiliki
banyak makna. Polisemi adalah kata atau frasa yang memiliki makna atau arti
yang lebih dari satu. Dan makna dari polisemi bisa dilihat dari kalimat
keseluruhannya.Contoh:Kesuksesan
adalah buah dari kesabaran dan kerja
keras.Kata buah yang dimaksud ialah
hasil. Sedangkan, buah mangga adalah
salah satu buah terbaik sehingga banyak peminatnya. Kata buah yang dimaksud
ialah buah-buahan. Contoh yang lain, Orang itu adalah salah satu tangan kanan Pak Narji. Tangan kanan yang
dimaksud berarti orang kepercayaan. Sedangkan, Budi dihukum karena ia telah panjang tangan. Panjang tangan yang
dimaksud berarti mencuri.
Menurut Sumarsono (2007:41) menyatakan
jika polisemi adalah
sebuah bentuk kebahasaan
yang memiliki berbagai
macam makna. Perbedaan
makna satu dengan yang
lain dapat ditelusuri
atau diruntut sehingga
sampai pada suatu
kesimpulan bahwa makna-makna itu
berasal dari sumber yang sama. Sama dengan pendapat
sebelumnya Allan dalam Sumarsono (2007:41) menyatakan “polysemy is the
property od an emic expression with more that one meaning.” Yang artinya
polisemi sebagai unsure emik yang memiliki dua
makna atau lebih.
Ullman menyatakan dalam buku Sumarsono
(2007:41) bahwa polisemi
merupakan elemen bahasa yang penting. Adanya polisemi
membuat kosakata dalam suatu bahasa
menjadi terbatas karena sejumlah konsep
tidak harus diungkapkan
dengan butir-butir leksikal
yang berbeda, tetapi dengan
butir leksikal yang sama atas
dasar berbagai persamaan.
Faktor-Faktor
Munculnya Polisemi
1.
Pergeseran
Pemakaian
Polisemi sebagai
ciri fundamental bahasa manusia muncul karena berbagai
faktor. Faktor yang pertama yaitu pergesaran pemakaian.
Luasnya pemakaian bahasa menyebabkan yang digunakan oleh manusia menyebabkan
pergesaran makna. Pergesaran itu
jika belum begitu
jauh kemungkinan untuk
diruntut makna primer dengan makna yang baru. Namun jika sebaliknya
jarak pergeseran yang jauh akan menyulitkan
penyebab pergeserannya. Menurut Ullman dalam
Sumarsono (2007:45) kemungkinan
itu terjadi – pergeseran yang sulit diruntut penyebabp ergeserannya–akan menjadi pasangan yang berhomonim.
Pergeseran
penggunaan (aplikasi) terutama
tampak mencolok dalam
penggunaan adjektiva karena adjektiva ini
cenderung berubah maknanya sesuai dengan nomina yang
diterangkan. Dalam
bahasa Indonesia dapat ditemukan polisemi pada semua jenis kata.
Contohnya yang diambildari KBBI:
Lanjut (adjektiva):
·
Panjang (tentangcerita,
percakapan);
·
Lama, tinggi
(tentangumur);
·
Terus,
tidakberhenti, masihbersambung;
·
Telahjauhdaripermulaan;
Barang
(nomina):
·
Benda umum
(segalasesuatu yang berwujud);
·
Segalaalatperkakasrumah,
perhiasan, dsb;
·
Bagasi, muatan;
·
Sesuatu,
segalasesuatu;
·
Sesuatu yang
biasasaja;
Membawa
(verba):
·
Memegang
(mengandung, mengangkat, dsb) sambilberjalan;
·
Mengangkat,
memuat, memindahkan, mengirimkan;
·
Mengajakpergi,
memimpin;
·
Mendatangkan,
mengakibatkan;
Kata padat dalam Kamus Besar
Bahasa Indonesia memiliki
makna sangat penuh
hingga tidak berongga:
padu: mampat: pejal. Namun Karena pergeseran
pemakaian memungkinkan terjadinya makna yang berbeda-beda, yakni:
· Sudah tetap hatinya
seperti dalam sudah padat
hatinya.
· Telah mendapat kata sepakat seperti dalam
rundingan telah padat.
· Tidak ada waktu
luang; berhimpitan sehingga tidak ada waktu
sela seperti dalam
acaranya padat sekali seminggu
ini.
·
Mempunyai
isi dan bentuk yang
tetap (tidak cair
dan tidak berupa gas)
seperti
dalam batu, besi dan
sebagainya merupakan bendapadat. Perbedaan makna padat
dalam contoh-contoh di atas masih relative dekat dengan makna
primernya, tetapi kata sunting
makna primernya ialah
menyiapkan naskah siap cetak
atau siap terbit
dengan memperhatikan segi
sistematika penyajian, isi, dan bahasa (menyangkut ejaan, diksi, dan struktur kalimat). Sedangkan makna sekundernya ialah
‘meminang untuk
tujuan memperistri’
2.
Spesialisasi
dalam Lingkungan
Sosial
Wilayah
kehidupan atau
wilayah social seringkali memiliki
kata-kata yang maknanya khas
yang berbeda dengan
makna sebenarnya. Penggunaan
kata bias berbeda
jika kita berada
pada suatu wilayah
atau lingkungan kita
misalnya saja jika kita
berada pada lingkungan
polisi. Kata operasi bukanlah hal yang berhubungan dengan
rumah sakit, ruangan untuk
mengobati luka yang sulit ditangani melainkan makna kata operasi ini adalah pekerjaan
yang berhubungan dengan
polisi bisa saja
melakukan razia, operasi zebra, dan lain sebagainya
tanpa ada penejlasan
lebih lanjut.
Hal ini
dikarenakan kebiasaan dan karena pengaruh
lingkungan.Makna bias berubah maknanya
dari makna yang biasa digunakan
sehari-hari menjadi makna yang berupa sandi-sandi yang hanya orang di wilayah
dan lingkungan tertentu
yang akan paham
tanpa penjelasan lebih
lanjut dan rinci.
3.
Bahasa
Figuratif
(kiasan)
Sejumlah kata tidak hanya memiliki
makna literal, tetapi memungkinkan pula memiliki
makna kias atau
figuratif yang pada akhirnya membentuk metafora-metafora. Metofa
dan kias-kias lain sebagai factor penting
dalam motifasi dan
dalam overtone emotif. Menurut Verhaar dalam Sumarsono (2007:48) menyatakan bahwa metafora terbentuk
karena adanya penyimpangan
penerapan makna kepada sesuatu
referen yang lain. Penyimpangan
makna ini tidak
bersifat semena atau arbitrer
,tetapi
berdasarkan atas kesamaan tertentu.
Seperti
kesamaan sifat, bentuk, fungsi, tempat
atau kombinasi diantaranya.
Sebuah kata dapat diberi
dua atau lebih
pengertian yang bersifat kias tanpa menghilangkan
makna orisinalnya. Makna yang baru dan lama akan berdampingan selama tidak ada
kekacauan makna. Dalam hal ini metafora-metafora
ini memancar dari
makna sentral kata itu.
4.
Penafsiran
Kembali Pasangan Berhomonim
Dalam pembicaraan tentang etimologi populer
kita sudah menyinggung bahwa polisemi juga bisa muncul melalui bentuk khusus
etimologi populer itu. Jika terdapat dua kata yang memiliki bunyi yang identik
dan perbedaan maknanya tidak begitu besar, kita cenderung untuk memandangnya
sebagai dua kata dengan dua pengertian. Secara historis ini masalah homonimi
menurut I Dewa Putu, dia menyatakan hal itu karena dua kata itu berasal dari
dua kata yang berbeda.
Jenis polisemi ini memang sangat jarang ada
dan sebagian besar contoh yang ada agak meragukan. Hanya dengan perhitungan
statistik sajalah kita dapat menunjukkan apakah sebagian besar penutur
benar-benar merasakan semacam hubungan antara dua makna itu.
5.
Pengaruh
Bahasa Asing
Maksudnya konsep-konsep asing sering kali
mengakibatkan perubahan makna kata-kata bahasa yang dipengaruhinya.
Kadang-kadang makna pungut atau makna pinjaman itu mendesak kata yang lama.
Tetapi dalam banyak hal makna lama tetap hidup berdampingan dengan makna baru
dan muncul polisemi.
Contohnya dalam bahasa Indonesia kata ranjau yang bermakna primer ‘sebilah
bambu yang ditajamkan untuk jebakan’ karena masuknya pengaruh asing yakni bom,
konsep ini tidak ada dalam bahasa Indonesia, kata ranjau memiliki makna baru.
Pengertian
Ambiguitas
Kata Ambiguitas ialah suatu kata yang
ditafsirkan memiliki makna ganda atau lebih dari satu. Ambiguitas dibagi
menjadi 3 yaitu,
a.
Ambiguitas
Fonetik
Adalah
suatu keambiguan yang terjadi akibat dari kesamaan bunyi – bunyi yang diucapkan
dan ini biasanya banyak terjadi dalam dialog atau percakapan sehari – hari.Contoh: “Dia datang memberi tahu” Kalimat ini menimbulkan
keambiguan, sebab yang dimaksud dia datang memebri tahu yang terbuat dari
kedelai atau dia datang memberi informasi.
b.
Ambiguitas
Gramatikal
Ambiguitas
gramatikal terjadi karena proses pembentukan suatu ketatabahasaan baik
pembentukan kata, prasa, maupun kalimat. Kata – kata atau frasa yang memiliki
keambiguitasan jenis ini akan hilang jika dimasukan ke dalam konteks kalimat. Contoh: “Orang tua” Kata tersebut
memiliki dua makna yaitu ibu dan bapak atau orang yang sudah tua. Oleh sebab
itu untuk mengetahui makna yang sebenarnya perlu disatukan ke dalam satu
kalimat.
c.
Ambiguitas
Leksikal
Kata
atau kalimat ambigu jenis ini biasanya terjadi karena kata atau kalimat itu
sendiri. Contoh: “Lari” yang berarti
mengejar sesuatu atau menghindari sesuatu.
Faktor-faktor penyebab keambiguan
ü Morfologi
ü Sintaksis
ü Struktual
Pengertian
Redundansi
Redundansi sering diartikan sebagai kata atau
kalimat yang berlebih-lebihan pemakaiannya. Dalam semantik redundansi
sebetulnya tidak ada, sebab salah satu prinsip dasar semantik adalah bila
bentuknya berbeda maka maknanya juga berbeda. Contoh: Rina mengenakan baju biru sama dengan gadis itu berbaju biru.
Istilah redundansi redundanci inggrisnya,
sedangkan bahasa indonesianya redundan, sering dipakai dalam linguistik modern
untuk menyatakan bahwa salah satu konstituen dalam kalimat tidak perlu bila di pandangdi
pandang dari sudut semantik (verhaar,1984:138). Sebagai contoh kita dapat
bertitik tolak dari konsep perifrase. Misalnya, bila kalimat “Ah diundang Burhan“ , diperpanjang
menjadi “Ah diundang oleh Burhan”,
maka yang terakhir adalah perifrase (sekaligus parafrase) dari kalimat pertama.
Perbedaan diantaranya hanya terletak pada penggunaan konstituen oleh. Banyak linguis mengatakan bahwa
konstituen oleh dalam kalimat kedua tadi adalah ‘redundan’, yaitu tidak diperlukan untuk mendapatkan makna penuh, namun
pendapat tersebut sekali lagi mengacaukan makna dan informasi-informasi. Kedua
kalimat tersebut memang sama, baik dengan konstituen oleh atau tidak, tetapi
maknanya tidak sama. Sulit memang menentukan perbedaan makna dari kedua kalimat
tersebut. Misalnya, kita dapat mengatakan bahwa penambahan konstituen oleh
lebih menonjolkan sifat agentif dari sisa kalimat sesudah diundang, tetapi yang
terpenting disini ialah prinsip yang sudah dirumuskan, yaitu informasi tidak
boleh disamakan dengan makna. Kalimat yang pertama terdapat sebagai fenomena
luar ujaran dan kalimat yang kedua adalah sebagai fenomena dalam ujaran. Bila
bentuk berbeda, maknanya harus dianggap berbeda pula.
Redundansi dapat dibedakan juga sebagai
kelebihan makna. Menurut Carrol (Lubis, 1933:150) dalam bukunya yang berjudul The Study of leaguage mengungkapan
redundansi dalam bahasa adalah “when the
average information carried by symbol units is less than the maxium posible
under condition of equiprobable and indepandent symbols” yang berarti bila
bobot informasi yang dikandung sebuah simbol yang kita ucapkan lebih sedikit
atau kurang dari jumlah unsur yang mendukung simbol itu atau dapat juga
diartikan bila ada perbedaan antara kapasitas dari sebuah ucapan dengan
informasi yang didukungnya.
Chaer (2009:105) menyebutkan redundansi
adalah terlebih-lebih hanya penggunaan unsur sekmental dalam satu bentuk
ujaran. Ukuran untuk menyatakan suatu kata itu disebut redundan atau tidak
adalah berubahlah informasi yang terkandung dalam suatu ujaran apabila kata
tersebut dibilangkan. Bila informasi tersebut tidak berubah, maka kata tersebut
adalah redundan. Sebagai contoh sebagai kalimat “Pak Petrus mengenakan kemeja kemeja berwarna putih agar terlihat bersih.”
Penggunaan kata berwarna termasuk regundansi atau berlebih-lebihan karena tanpa
penggunaan kata berwarna, informasi yang disampaikan kalimat tersebut tetaplah
sama.
Jika kita perhatikan orang-orang yang
berbahasa, akan kelihatan bahwa redudansi terdapat dalam segala bahasa dan
bahkan hampir pada segala bidang baik dalam ejaan, morfologi maupun pada
kalimat yang kita dapatin terdapat bentuk redudansi tersebut. Redudansi juga
dipermasalahkan dalam ragam bahasa baku maupun ragam bahasa pers karena kedua
raga bahasa tersebut menuntut adanya efisiensi kalimat. Misalnya untuk
memberikan suatu informasi cukup dengan 8 kata, tetapi kita ungkapkan dengan
lebih dari 8 kata inilah yang dimaksud dengan redudansi, begitu pula bila
sebuah kalimat sudah cukup untuk memberikan suatu informasi, tetapi kita
ungkapkan dengan 2 kalimat atau lebih, jelas bahwa ucapan kita termasuk
redundansi atau berlebihan. Redundansi
ini juga dapat kita temukan dalam ragam bahasa sehari-hari. Misalnya, dalam
kalimat “Suer, gue lihat sendiri, duit
sih Amin beneran banyak banget deh”. Penggunan salah satu
dari kata-kata beneran dan kata banget termasuk redundansi meskipun demikian.
Hal tersebut tetep digunakan oleh subjek pembicara karena dia hendak menekankan
nuansa makna jumlah uang yang sangat banyak. Contoh lain adalah “Jagalah kebersihan lingkungan, agar supaya kita terbebas dari berbagai
macam penyakit”. Penggunan kata agar dan supaya sangatlah tidak efektif.
Oleh karena itu kata agar dan supaya dapat dikatakan sebagai redundansi.
Penggunaan kata agar dan supaya dapat dipilih salah satunya agar konstruksi
kalimat tersebut menjadi kalimat yang lebih efektif. Seperti “Jagalah kebersihan lingkungan agar kita
terbebas dari berbagai macam penyakit“ atau dalam konstruksi kalimat ”Jagalah kebersihan lingkungan supaya kita
terbebas dari berbagai macam penyakit”.
Pendapat lain di kemukakan oleh Parera
(1993:74) yang mengistilahkan redundansi sebagai kelewahan, yakni derajat
kelebihan informasi yang dikandung oleh sebuah bahasa atau butir-butir bahasa
yang diperlukan informasi yang diperlukan. Jika seorang mengatakan “banyak buku-buku”. Bentuk ulang
buku-buku di anggap lewah karena kata banyak
sudah mengandung makna prural.
Penggunaan unsur bahasa yang tidak perlu
dalam suatu tuturan atau tulisan sebenarnya boleh ditinggalkan atau tidak di
gunakan sepanjang tidak mengganggu dan mengurangi makna atau informasi yang
ingin disampaikan. Berangkat dari penjelasan diatas, dapat diambil kesimpulan
bahwa redundansi adalah penggunaan kata-kata yang berlebihan dalam suatu
tuturan atau tulisan untuk menyampaikan suatu informasi.
Hakikat
Novel
Pengertian
Novel
Novel ialah
suatu karangan prosa yang panjang dan mengandung rangkaian-rangkaian cerita
dalam kehidupan seseorang dan berhubungan dengan orang-orang di sekelilingnya.
Karangan ini menonjolkan watak dan sifat setiap pelaku yang ada dalam cerita
tersebut. Seseorang yang menulis novel
disebut dengan novelis.
Ciri-Ciri
Novel
a)
Secara
umum
ü
Jumlah kata yang
terdapat lebih dari 35.000 kata.
ü
Terdiri dari sedikitnya
100 halaman.
ü
Waktu untuk membaca
novel setidaknya 2 jam atau 120 menit.
ü
Cerita yang terdapat
lebih dari satu impresi, efek dan emosi.
ü
Alur ceritanya cukup
kompleks.
ü
Seleksi ceritanya luas.
ü
Ceritanya panjang tapi
banyak kalimat yang diulang-ulang.
ü
Ditulis dnegan narasi
kemudian didukung dengan deskripsi untuk menggambarkan yang ada di dalamnya.
b)
Novel
Terjemahan
ü
Menonjolkan watak dan
perilaku tokoh berdasarkan latar belakang sosial budaya asing karya novel
tersebut diciptakan.
ü
Nama-nama tokohnya
tidak begitu familiar.
ü
Latar tempatnya tidak
berada di Indonesia
ü
Bahasanya tidak
mendayu-dayu.
c)
Novel
Angkatan 20 dan 30an
Bertema
masalah adat dan kawin paksa.
ü
Umumnya berisi kritikan
terhadap adat lama.
ü
Tokoh yang diceritakan
dari muda hingga meninggal dunia.
ü
Bahasanya kaku dan
statis.
ü
Bahasanya sangat snatun.
ü
Konflik yang dialami
para tokoh kebanyakan disebabkan peselisihan dalam memilih nilai kehidupan
(barat dan timur).
ü
Menggunakan kata-kata
yang berlebihan.
d)
Novel
Remaja
ü
Kebanyakan bertema
tentang pertemanan atau persahabatan dna percintaan.
ü
Bahasa yang digunakan
bahasa sehari-hari yang digunakan oleh remaja.
ü
Jumlah katanya lebih
dari 35.000 kata.
ü
Terdiri dari setidaknya
100 halaman.
ü
Waktu untuk membaca
novel setidaknya 2 jam atau 120 menit.
ü
Ceritanya lebih dari
satu impresi, efek dan emosi.
ü
Alur ceritanya cukup
kompleks.
ü
Seleksi ceritanya luas.
ü
Ceritanya panjang tapi
banyak kalimat yang diulang-ulang.
ü
Ditulis dnegan narasi
kemudian didukung dengan deskripsi untuk menggambarkan yang ada di dalamnya.
Jenis-Jenis
Novel
·
Berdasarkan
Nyata atau Tidaknya Kejadian
ü
Novel
Fiksi, ialah suatu karangan yang tidak nyata
atau tidak pernah terjadi pada kehidupan nyata.
ü
Novel
Non-Fiksi, ialah suatu karangan yang yang pernah
ada atau pernah terjadi dalam kehidupan nyata.
·
Berdasarkan
Genre Ceritanya
ü
Novel
Romantis, ialah suatu karangan yang berisi tentang
hal yang berhubungan dengan kasih sayang dan cinta.
ü
Novel
Horor, ialah suatu karangan yang berisi tentang
hal yang menyeramkan.
ü
Novel
Komedi, ialah suatu karangan yang berisi hal
lucu.
ü
Novel
Inspiratif, ialah suatu karangan yang berisi
mengenal hal inspiratif.
·
Berdasarkan
Isi dan Tokoh
ü
Novel
Teenlit, ialah suatu karangan yang berisi tentang
remaja.
ü
Novel
Chicklit, ialah suatu karangan yang berisi tentang
perempuan muda.
ü
Novel
Dewasa, ialah suatu karangan yang berisi tentang
cerita orang dewasa.
Hakikat
Berbahasa Indonesia
Pengertian
Berbahasa Indonesia
Bahasa Indonesia ialah
suatu bahasa yang berasal dari bahasa Melayu yang menjadi suatu bahasa kesatuan
dari negara Indonesia. Dan kita sebagai rakyat Indonesia seharusnya menjungjung
tinggi bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Berbahasa Indonesia dengan baik
dan benar ialah dengan menggunakan bahasa Indonesia yang sesuai konteks
(pembicaraan atau penulisan) atau dengan menggunakan bahasa Indonesia yang
sesuai dengan tata bahasa Indonesia.
Manfaat
Berbahasa Indonesia
Kita dapat melestarikan bahasa indonesia dan
meningkatkan rasa nasionalisme sebagai rakyat indonesia. Selain itu, manfaat
berbahasa indonesia ialah mempermudah hubungan berbahasa antar suku, ras dan
daerah. Secara tidak langsung berbahasa Indonesia dapat membuat pribadi kita
menjadi lebih santun.
Informasi sudah lengkap dan bermanfaat, namun pemilihan warna font harus lebih diperhatikan lagi, terima kasih
BalasHapus